![]() |
Lala Komalawati |
Lala menilai kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia yang sedang berupaya melakukan transformasi digital.
Ia menekankan bahwa korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berimbas langsung pada anak-anak yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
“Sebagai orang tua, kami merasa dikhianati oleh janji pembangunan digital. Program pengadaan laptop ini justru tidak berpihak pada realitas anak-anak di lapangan, terutama di daerah 3T yang masih minim internet dan infrastruktur,” ujar Lala dalam keterangannya. Jumat (05/09/2025).
Menurutnya, perangkat yang dibagikan melalui program digitalisasi pendidikan sering kali tidak optimal digunakan. Minimnya pelatihan guru dan keterbatasan fasilitas sekolah membuat banyak laptop akhirnya tidak terpakai maksimal.
Lala mendorong adanya langkah konkret dari pemerintah untuk memulihkan kepercayaan publik, di antaranya:
- Melakukan audit menyeluruh dan transparan terhadap proyek pengadaan perangkat IT di sektor pendidikan.
- Menyusun ulang strategi digitalisasi agar sesuai dengan kondisi sekolah di berbagai wilayah, khususnya daerah tertinggal.
- Memperkuat tata kelola pengadaan barang dan jasa di dunia pendidikan.
- Memberikan pelatihan intensif bagi guru agar pemanfaatan teknologi benar-benar mendukung proses belajar mengajar.
Ia juga mengingatkan agar proses hukum terhadap kasus ini dijalankan secara transparan tanpa intervensi politik.
“Momentum ini harus menjadi panggilan untuk berbenah. Setiap rupiah anggaran pendidikan harus benar-benar membawa manfaat bagi anak-anak Indonesia, bukan justru menjadi sarana penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem Makarim bersama sejumlah pihak lain sebagai tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan Chromebook senilai sekitar Rp1,98 triliun. Program tersebut merupakan bagian dari kebijakan digitalisasi pendidikan pada masa pandemi COVID-19. Rill/Red
0Komentar