Sulawesi Selatan, inewsindonesia.com - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gempa Indonesia menegur keras Kejaksaan Negeri Kabupaten Gowa atas dugaan kelalaian fatal dalam melaksanakan eksekusi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1099 K/Pid/2000, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Kelalaian ini dinilai berdampak serius, karena dua terpidana dalam perkara tersebut kembali melakukan tindak pidana berat berupa pembunuhan terhadap pelapor pada tahun 2002.
Dalam amar putusan Mahkamah Agung, tiga terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana “bersama-sama melakukan pemerasan dengan kekerasan”, dengan rincian hukuman:
- Massiri Dg Tojeng bin Ma’li – 1 tahun penjara (meninggal sebelum menjalani hukuman).
- Syarifuddin bin Massiri – 1 tahun 6 bulan penjara.
- Syamsul alias Jamsu bin Massiri – 1 tahun 6 bulan penjara.
Namun hingga bertahun-tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi terhadap dua terpidana terakhir tak kunjung dilakukan.
Akibatnya, pada 11 Januari 2002, kedua terpidana kembali melakukan kejahatan dengan membunuh H. Rajiwa, pelapor dalam perkara sebelumnya, di Dusun Batumenteng, Desa Berutallasa, Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa.
Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polres Gowa dengan Nomor Laporan Polisi: Pol. 128/II/2002, dan ditangani oleh Polda Sulawesi Selatan.
Dari ketiga pelaku, Syamsul alias Jamsu menyerahkan diri, sementara Syarifuddin bin Massiri dinyatakan buron (DPO). Ironisnya, menurut pantauan LSM Gempa Indonesia, terpidana DPO tersebut masih berkeliaran bebas hingga kini tanpa tindakan dari aparat penegak hukum.
Ketua DPP LSM Gempa Indonesia, Amiruddin SH Karaeng Tinggi, menilai bahwa Kejaksaan Negeri Gowa telah melanggar kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (jo. UU No. 11 Tahun 2021).
“Kejaksaan Negeri Gowa telah lalai dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya, dan akibatnya timbul korban jiwa baru. Negara seharusnya hadir untuk menegakkan keadilan, bukan membiarkan terpidana bebas berkeliaran,” tegas Amiruddin SH Karaeng Tinggi.
Selain itu, Amiruddin juga menyoroti Polres Gowa yang dianggap tidak menindaklanjuti keberadaan terpidana buron, padahal Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 secara tegas mewajibkan Polri menangkap dan menahan pelaku tindak pidana atau buronan.
LSM Gempa Indonesia mendesak Kejaksaan Agung RI dan Kapolda Sulawesi Selatan untuk turun tangan mengevaluasi dan memeriksa dugaan kelalaian aparat hukum di Gowa.
“Kasus ini bukan soal masa lalu, tapi soal tanggung jawab hukum yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika dibiarkan, keadilan hanya akan menjadi slogan,” pungkas Amiruddin. Rill/Red/Lk
0Komentar