Bolehkan Kepala Daerah Maju Pilpres, Pakar Hukum Ingatkan MK Soal Etika Demokrasi
Jakarta, iNewsindonesia.com - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan soal batasan usia capres cawapres. Dalam putusan yang dibacaka...
Jakarta, iNewsindonesia.com - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan soal batasan usia capres cawapres.
Dalam putusan yang dibacakan pada Senin (16/10), lembaga itu menolak gugatan soal batas usia Capres Cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Sementara dalam putusan lainnya, MK membolehkan kepala daerah yang belum berusia 40 tahun maju Capres Cawapres.
Putusan lembaga tersebut dinilai sejumlah pihak sarat kepentingan politis dan memiliki tujuan tertentu.
Sebelumnya, Direktur Lingkar Madani/LIMA Indonesia, Ray Rangkuti, menyoroti upaya-upaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara yang kontroversial.
"Jelas sekali terdapat upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui berbagai isu kontroversial, seperti penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode." jelasnya dalam sebuah diskusi yang digelar PARA Syndicate.
Ray menegaskan bahwa langkah-langkah semacam ini tidak sejalan dengan konstitusi dan prinsip etika demokrasi. Ia juga menyoroti bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menentang tindakan-tindakan semacam ini.
"Langkah-langkah semacam ini jelas melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan tidak sejalan dengan semangat persaingan yang adil dalam pemilihan," tambahnya
Direktur Lingkar Madani tersebut mendesak Anwar Usman untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) guna melindungi MK dari benturan kepentingan yang dapat merusak integritas lembaga hukum tersebut.
"Ini perlu dilakukan terutama sebelum menghadapi gugatan batas usia Capres-Cawapres yang memiliki dampak penting pada keadilan dan integritas lembaga tersebut," imbuhnya.
Senada, Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, membahas implikasi besar dari penggunaan anak sebagai alat untuk mengamankan posisi ayahnya dalam politik.
"Menggunakan anak sebagai alat politik mungkin memiliki implikasi besar, terutama dalam konteks perpecahan politik di antara Jokowi, PDIP, dan Ganjar," ujarnya.
Hal ini mencerminkan adanya taktik politik yang mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan persaingan politik yang sehat.
Ia juga menyoroti pentingnya masyarakat mampu membedakan antara wajah politik yang asli dan yang palsu dalam pilihan politik Prabowo dan Gibran.
Dia menambahkan dalam era politik yang sarat dengan narasi dan retorika, kemampuan untuk melihat melampaui citra politik yang dibangun secara sengaja adalah kunci untuk mengambil keputusan politik yang bijak. Rill/Red